Oleh: Haidar Bagir

Ketua Yayasan Lazuardi Hayati dan Penulis buku “Memulihkan Sekolah. Memulihkan Manusia”.

 

Umur saya sekarang 65 tahun. Sudah sejak lama –persisnya dua puluh satu tahun lalu, saat pertama kali mendirikan sekolah pada 2000– saya sampaikan di hadapan para guru bahwa salah satu ukuran prestasi guru di sekolah ini adalah seberapa jauh mereka menyebal dari kurikulum atau materi pelajaran versi pemerintah. Tentu dengan menyajikan alternatif yang dinilai lebih baik, berlandaskan ilmu kependidikan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Kenapa saya sampai pada sikap yang ekstrem seperti ini? Pertama, menurut saya, beban dan jumlah mata pelajaran dalam kurikulum yang ditetapkan pemerintah terlalu gemuk. Jam belajar terlalu padat. Isinya pun lebih pada penjejalan materi-materi yang seringkali tidak relevan dengan kebutuhan peserta didik, serta berkecenderungan kepada hafalan tanpa fikir (rote memorization). Pada saat yang sama, ia kurang mendorong pengembangan kemampuan kritis, penalaran, imajinasi, dan kreativitas. Maka, kepada para guru saya minta agar siap ‘membacoki’ beban kurikulum yang terlalu gemuk dan terlalu membelenggu itu.

Kedua, saya meminta agar para guru tidak mengajar dengan metode satu arah, namun justru menitikberatkan pada penyajian pengalaman belajar yang bervariasi, partisipatif, hands on, bermakna dan menyenangkan. Salah satu caranya adalah dengan menerapkan active learning dalam bentuk penerapan semacam project based learning. Yang tidak kalah penting adalah mengganti sistem penilaian yang hanya menekankan pada ranah kognitif dan berbasis pencil and paper dengan penilaian otentik yang kontekstual dan sesuai dengan praktik dalam kehidupan nyata.

Sambil tetap mengembangkan semangat kompetitif yang positif, saya menunjukkan pentingnya menghapus sistem ranking yang tidak logis; mengembangkan dan memfasilitasi kecerdasan majemuk (multiple intelligences);  serta menekankan pada pendidikan karakter berbasis praktik dan keteladanan.

Berhasilkah proses tranformasi ini?  Tentu tidak semudah itu. Upaya ini membutuhkan konsistensi dan  waktu yang tidak pendek. Tantangan pertama yang muncul adalah mengubah mindset guru dari ‘belagak’ sebagai manusia serba tahu menjadi fasilitator dan teman dalam proses belajar-mengajar. Ternyata tidak mudah, karena yang lebih sering terjadi adalah guru secara otomatis selalu kembali kepada default mindset lama. Tantangan selanjutnya, bisakah sekolah mendorong para guru untuk dengan giat melakukan  peningkatan kompetensi mereka sebagai guru pembelajar?

Seiring berjalannya waktu, proses transformasi pun mulai membuahkan hasil. Salah satu faktor penentu-pentingnya adalah keberhasilan meyakinkan sekolah dan para guru tentang pentingnya sekolah menjadikan peserta didik sebagai subyek dan pusat segala kegiatan belajar-mengajar. Yakni, melakukan upaya sebaik-baiknya dalam membekali mereka dengan sikap (attitude), pengetahuan (knowledge), dan keterampilan (skills) yang mereka butuhkan bagi hidup yang bermakna (meaningful) dan penuh kontribusi kepada sesama. Dan itu semua harus diselenggarakan dengan terus mengingat bahwa para peserta didik saat ini akan hidup di suatu zaman yang bukan zaman kita, dan mereka harus dibiarkan menjalaninya sesuai dengan kecintaan (passion) mereka, bukan sesuai keinginan kita.

Aspek sikap ini biasa dipahami sebagai mencakup ketakwaan (yakni kepemilikan moralitas dan dorongan berbuat baik), spiritualitas,  rasa syukur, toleransi, welas asih, cinta kasih, kejujuran, kerendahhatian, kesederhanaan, kepercayaan diri, disiplin, dan rasa tanggung jawab.  Pada aspek pengetahuan, pendidikan perlu setidaknya membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir tingkat tinggi (high order thinking skills) dan daya nalar, metakognisi, intuisi dan imajinasi, serta kemampuan mengambil keputusan dan menyelesaikan masalah.  Sementara itu pada ranah keterampilan, peserta didik perlu dibekali dasar-dasar pengembangan bakat-minat, keterampilan menghasilkan karya, berkomunikasi, dan berkolaborasi.

Nah, dalam konteks ini kita perlu benar-benar menyadari bahwa peserta didik sebenarnya telah dibekali potensi oleh Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, untuk menjadi manusia paripurna. Termasuk di dalamnya, rasa ingin tahu yang tinggi, kesukaan kepada tantangan, kesenangan mencoba hal-hal baru, bahkan kepemilikan potensi pengetahuan tentang apa saja yang mereka perlu tahu dan kuasai. Anak bukanlah tabularasa. Fitrah bukanlah kekosongan, melainkan potensi yang penuh. Potensi itulah yang terkadang luput dari perhatian, sehingga pendidikan terkadang dimaknai sebagai ‘menuangkan air dari teko penuh (guru) ke dalam gelas kosong (siswa)’, dan bukan aktualisasi potensi fitri mereka. Akhirnya, dengan paradigma yang sudah ketinggalan zaman ini, anak-anak pun terkungkung. Mereka tidak merdeka untuk mengembangkan seluruh potensinya yang sebenarnya dahsyat itu.

Sebaliknya dari model menuangkan air dari teko, pendidikan musti dimaknai sebagai menyemai benih tanaman. Benih dalam bentuknya yang sekecil itu, sesungguhnya telah mengandung akar, batang, cabang, ranting, daun, dan bunga dalam dirinya.  Mengambil inspirasi dari petani, pendidikan seharusnya lebih dipusatkan pada menyiapkan lahan, daripada mengintervensi benih. Petani menyediakan media tanam yang sesuai dan subur. Memastikan terpenuhinya kebutuhan akan air, pupuk, dan menjaga tanaman bebas dari hama. Harapannya, benih akan mendapat lingkungan yang sesuai agar tumbuh dengan baik.

Demikian pula tugas pendidikan adalah mengaktualisasikan segenap potensi yang ada pada anak.  Karena itulah sekolah, keluarga, dan lingkungan masyarakat sudah seharusnya menjadi tempat yang nyaman, aman, dan suportif untuk proses pembelajaran anak.

Tidak kalah penting adalah peran guru dalam memelihara harga diri dan optimisme, seraya selalu memberi ruang yang jembar bagi anak untuk mengembangkan budi pekerti, menentukan tujuan, dan belajar bertanggung jawab atas masa depannya. Mereka harus digalakkan untuk berani bercita-cita melalui pemberian kesempatan yang seluas-luasnya kepada mereka untuk bertanya, mencoba, berkarya, dan tidak takut salah dalam belajar. Juga penguatan agar peserta didik memiliki pola pikir bertumbuh (growth mindset), penerapan disiplin positif (disiplin yang dirumuskan secara partisipatif dan suka rela tanpa penekanan pada pemberian hukuman dan iming-iming), serta daya resiliensi (kemampuan beradaptasi dan mengatasi tekanan).

Jika pendidikan diselenggarakan dengan cara yang proper seperti ini, maka guru akan membantu para peserta didik untuk mencapai the best version of themselves. Menjadi versi terbaik dari diri mereka sendiri.  Yakni anak-anak yang oleh Ki Hajar Dewantara dideskripsikan sebagai manusia-manusia merdeka lahir batin dan tidak bergantung pada orang lain dan, sebaliknya, hidup bertumpu pada kekuatan sendiri, mampu mengambil keputusan, berbudi pekerti luhur, sanggup meraih kehidupan bermakna, dan berkontribusi positif bagi sesamanya. Tak ada cara lain, kemerdekaan seperti ini pada diri setiap manusia harus dikembangkan sejak dini, sejak mereka meniti tahap-tahap belajar di semua jenjang kehidupan, utamanya di lembaga persekolahan

Sumber : https://www.indonesiana.id/read/151490/merdeka-belajar-sebuah-d%c3%a9j%c3%a0-vu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *